MAKASSAR, BLAM – Setelah melakukan studi awal atau “penciuman lapangan” selama sepekan, tiga bidang penelitian Balai Litbang Agama Makassar (BLAM) memaparkan hasil temuan mereka dalam bentuk kegiatan rapat dalam kantor (RDK), Senin, 10 Februari 2020. Para peneliti
Pada riset tahap pertama 2020, Peneliti BLAM memusatkan lokus penelitian mereka kepada isu Moderasi Beragama di Kawasan Timur Indonesia.
Bidang Lektur Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi, misalnya, meneliti “Moderasi Beragama dalam Kearifan Lokal Masyarakat,” Bidang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan meneliti “Media Online dan Pembentukan Pemahaman Keagamaan Siswa”, dan Bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan meneliti “Pemahaman Kebhinnekaan Peserta Didik Madrasah.”
Sementara Peneliti Ahli Utama akan melakukan riset tentang “Pemikiran dan Praktik Moderasi Beragama di Berbagai Lembaga Pendidikan Keagamaan.”
Selain peneliti BLAM, kegiatan ini juga mengundang peserta luar dari kalangan akademisi, guru madrasah, aktivis, dan pemerhati sosial keagamaan.
Kepala BLAM, H. Saprillah, M.Si, selaku pembimbing penelitian Bidang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan terkait Media Online dan Pembentukan Pemahaman Keagamaan Siswa, memberikan sejumlah masukan kepada para peneliti.
Menurutnya, tema riset yang diangkat Peneliti Bimas bisa menggunakan teori komunikasi dan audiens pasif dari cultural studies untuk mendalami siswa madrasah bermain media online.
Dalam teori komunikasi, kata Saprillah, kriteria audiens dibedakan atas empat. Pertama, audiens sebagai massa, yang dianalogikan liar, licin, dan sulit ditangkap alur berpikirnya. Orang seperti ini juga tidak mudah dipetakan.
Lalu, kategori kedua adalah, audiens sebagai kelompok sosial, yaitu mereka sendiri yang menentukan keputusan menerima atau menolak informasi yang didasarkan pada afiliasi kelompok sosialnya.
“Misalnya, kalau berafiliasi ormas Islam NU, tentunya mereka akan memilih ustad atau ulama yang berasal dari kalangan NU, dan begitu seterusnya,” kata Saprillah.
Audiens yang masuk kategori ketiga, adalah pemirsa. Model kategori audiens seperti ini tampak seperti Indonesian Lawyer Club (ILC). Sedangkan terakhir adalah, kategori audiens sebagai pasar.
Dari hasil temuan penjajakan, Saprillah berharap peneliti akan memetakan unit analisis yang mereka temukan di kalangan siswa madrasah.
“Misalnya, siswa ini masuk kategori audiens yang mana? Apakah masuk kategori audiens massa yang tidak punya ikatan emosional dalam grup sosial, atau justru sebaliknya, memiliki ikatan ideologi dengan kelompok tertentu, dan sebagainya,” katanya.
Pendekatan lain yang juga bisa digunakan untuk penelitian ini adalah teori audiens aktif, yang dikenal dalam cultural studies. Sebenarnya, teori yang ingin melihat pemirsa televisi ini telah lama ditinggalkan. Meski begitu, ia menarik untuk menjadi pisau analisis dalam penelitian ini.
“Audiens itu aktif, dalam artian, tidak mudah dijajah (dalam tanda petik) oleh informasi yang mereka terima. Setelah menerima informasi, apa reaksi mereka selanjutnya, serta bagaimana mereka memperoleh informasi, dan memperlakukan informasi tersebut,” ujarnya.
Pada penelitian ini, Saprillah menduga, temuan lapangan peneliti akan mengarah kepada dua kategori, yaitu kategori massa dan kategori ideologis.
“Ada anak-anak yang sebenarnya tidak memiliki kerangka ideologis, tidak moderat maupun radikal. Namun, mereka menerima dan mengakumulasi informasi, yang informasi ini nantinya akan membentuk paradigma berpikirnya,” katanya.
“Sementara kategori audiens ideologis adalah, mereka mengikuti kajian dan pengajian dari kelompok tertentu, dan hal itu membentuk cara berpikirnya,” lanjut Saprillah.
Setelah tahap penjajakan, peneliti BLAM akan turun lapangan selama 15 hari, yang dijadwalkan 18 Februari hingga 3 Maret 2020. (ir)
Penulis :
Editor :
Sumber :