Top
    blamakassar@kemenag.go.id
(0411) 452952

Moderasi Beragama a la Pesantren Hidayatullah Parepare  

Jumat, 18 Desember 2020
Kategori: Artikel Ilmiah
348 kali dibaca

Oleh: Khaerun Nisa’ (Peneliti Balai Litbang Agama Makassar)

Membincang Kota Parepare selalu saja menarik. Bagaimana tidak. Kota dengan luas wilayah “termungil” di Sulawesi Selatan, yaitu 99,33 km2, yang terdiri atas empat kecamatan, 22 kelurahan, dan dihuni 143.710 jiwa penduduk (BPS Kota Parepare, 2019), memiliki pesona topografi begitu indah. Bayangkan! Daerah ini memadukan perbukitan, dataran, dan lautan, yang semua sama indahnya.

Namun, Parepare tidak hanya menarik karena memiliki topografi indah. Ia semakin indah, karena mencerminkan masyarakat yang hidup damai dan rukun dalam kemajemukan.

Merujuk Badan Pusat Statistik Kota Parepare (2019), diketahui bahwa struktur penduduk Parepare berdasarkan agama menunjukkan, umat Islam terhitung paling banyak, yaitu 139.390 jiwa atau 94,02%.

Sementara pemeluk agama lain, seperti Protestan, menempati urutan kedua, 5.307 jiwa (3,58%), Katolik, 2.028 jiwa (1,368%), Hindu, 752 jiwa (0,507%), dan Buddha, 774 jiwa (0,522%). Ada juga lainnya, 5 jiwa atau 0,003%.

Parepare, selain dihuni beberapa agama dan kepercayaan-kepercayaan lainnya, juga dihuni beberapa etnis yang berasal dari Sulawesi maupun luar Sulawesi.

Beberapa etnis tersebut adalah Bugis Sidrap, Pinrang, Soppeng, Barru, Makassar, Pattinjo, Tolotang, dan Duri. Ada juga Mandar, Jawa, Minang, Chinese, dan lainnya. Dari sekian etnis di Parepare, yang menjadi payung besarnya atau terbanyak adalah Bugis.

Parepare tidak hanya terkenal dengan julukan Kota Niaga. Julukan lain pun disematkan kepada kota ini, seperti ikon Kota Santri dan Kota pendidikan.

Julukan tersebut, tentu saja, bukanlah isapan jempol. Hal tersebut sejalan dengan kehadiran sembilan pondok pesantren dengan berbagai keterwakilan identitas aliran keagamaan.

Pondok pesantren tersebut adalah, Pondok Pesantren Salafiyah Al-Jawahir, Pondok Pesantren DDI Lil Banat, Pondok Pesantren Hafidziyah, Pondok Pesantren Al-Munawarah, Pondok Pesantren Al-Badar, Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Pondok Pesantren Hidayatullah, Pondok Pesantren Ummul Quro, dan Pondok Pesantren Al-Mustaqim.

Moderasi Beragama

Dalam kaitannya dengan Moderasi Beragama, saya berkesempatan melakukan riset mengenai “Perspektif Tokoh Masyarakat tentang Pendidikan Moderasi Beragama di Parepare”, 2020. Ini merupakan riset tahap kedua Balai Litbang Agama Makassar (BLAM).

Dalam tulisan ini, saya tidak mengulas lebih jauh perspektif tokoh masyarakat di Parepare tentang pendidikan Moderasi Beragama. Saya hanya akan berbagi best practice Moderasi Beragama a la Pesantren Hidayatullah di Parepare.

Terdapat empat indikator Moderasi Beragama yang digagas Kementerian Agama (kemenag), yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal (2019).

Indikator-indikator tersebut dijadikan pijakan untuk mengenali seberapa kuat Moderasi Beragama yang dipraktikkan seseorang, dan seberapa besar kerentanan yang dimiliki.

Kerentanan tersebut perlu ditemukenali lebih dini dengan tujuan untuk menemukan langkah yang tepat. Juga, dapat disusun sedini mungkin untuk melakukan penguatan moderasi beragama.

Dari empat indikator Moderasi Beragama yang digagas kemenag, kemudian mengerucut pada dua indikator yang banyak menuai pro-kontra dan kekeliruan maupun kesalahpahaman dalam penerjemahannya, dan penentuan batasannya. Kedua indikator tersebut adalah sikap toleransi dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal.

Berbicara mengenai Pesantren Hidayatullah, pesantren ini sejak dahulu dikenal memiliki corak atau identitas yang tidak melaksanakan ritual budaya lokal.

Hal menarik yang saya temukan adalah terdapatnya tokoh agama dari Pondok Pesantren Hidayatullah Parepare yang memiliki latarbelakang organisasi, ataupun identitas keagamaan, yang selama ini dikenal kental tidak melaksanakan ritual-ritual budaya lokal.

Meski begitu, hal tersebut tidak membuatnya menutup ruang. Ia bahkan mengakomodasi apabila masyarakat sekitar mengajukan permintaan akan pemenuhan unsur agama dalam ritual tradisi maupun budaya lokal.

Berikut kutipan wawancara Ustaz Saparuddin, Ketua Pondok Pesantren Hidayatullah Parepare:

Kita tidak merayakan (maulid, dst), tapi kemudian kalo masyarakat meminta kita, kita tetap akomodir. Misalnya di sini ada orang meninggal, mereka minta untuk ngaji, kita pergi ngaji, orang minta taksiyah, kita taksiyakan. Kita melihatya artinya kita tidak seekstrim bahwa karena masyarakat inikan mau.. karena tidak semua sama pemikirannya, yang penting standar nilai sudah ada, standar nilai kita inikan agama yang harus selalu dijaga, kemudian yaitu budaya. Ketika sesuatu itu masih ada peluang, celah  untuk kemudian kita bisa masuk di sana kenapa tidak kan gitu.. yang kita tidak ada kompromi itu kalo sudah bicara kesyirikan, tapi kalo hal-hal yang masih kemudian terlepas, kalo pelaksanaannya sih mungkin kita sudah tidak, artinya kita sudah tidak masuk disitu, tapi kemudian ketika ada orang membutuhkan kita untuk menjelaskan persoalan-persoalan itu tadi dan kita tidak kemudian mereka yang melakukan lalu dibilangi sesat, tidak (Wawancara, 27 Agustus 2020, di Parepare).

Beberapa poin penting yang dapat ditunjukkan dari kutipan di atas, adalah meskipun Ustaz Saparuddin memiliki latarbelakang organisasi yang tidak melakukan ritual tradisi lokal, namun ia sama sekali tidak resisten terhadap budaya lokal, sepanjang tradisi lokal tersebut dianggap tidak kontradiktif dengan ajaran-ajaran Islam.

Bahkan, justru sebaliknya, Ustaz Saparuddin malah mengakomodir pemenuhan unsur agama dalam ritual tradisi lokal masyarakat Parepare. Dari potret ini dapat tergambarkan, bahwa apa yang dilakukan Ustaz Saparuddin adalah bentuk nyata Moderasi Beragama di Parepare.

Bahwa, dalam mengimplementasikan Moderasi Beragama dalam kehidupan, seseorang tidak perlu mengesampingkan, mengaburkan, atau bahkan kehilangan identitasnya demi mengakomodir orang yang berbeda latarbelakang identitas dengannya.

Selain itu, kehadiran Moderasi Beragama juga tidak lantas membuat seseorang menjadi eksklusif dengan identitasnya. Dengan adanya perbedaan identitas tersebut, justru menjadi pintu untuk membuka dialog dan sinergitas antarumat beragama. (*)

Penulis :

Editor :

Sumber :


Berita Terkait

ARSIP