Top
    blamakassar@kemenag.go.id
(0411) 452952

Menteri (Semua) Agama

Rabu, 28 Juli 2021
Kategori: Pojok KA BLAM
3428 kali dibaca

Oleh: Saprillah (Kepala Balai Litbang Agama Makassar)

Di salah satu grup whatsapp keluarga, saya ditanyai begini. “Ini video tentang apa? Saya baru dengar.” Saya langsung membuka video yang dimaksud.

Pada tayangan video tersebut, Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil Qoumas, atau Gus Yaqut, sedang mengucapkan Selamat Hari Raya Naw-ruz 178 EB kepada pengikut Bahai.

Ini bakal heboh lagi. Benar saja.

Tulisan dan meme yang menyerang Gus Men, sapaan karib Menag Yaqut Cholil Qoumas, sudah mulai tersebar di grup-grup whatsapp. Saya melihat, sebagian besar muncul dari kelompok yang selama ini memang tidak menyukai menag. 

Bahai yang disebutkan oleh Gus Men adalah kelompok agama minoritas yang sudah ada di Indonesia sebelum kemerdekaan. Keberadaannya di tengah masyarakat memang tidak menonjol, karena jumlahnya tidak banyak.

Bahai, Tao, dan Sikh, adalah agama-agama universal yang sudah lama di Indonesia, tetapi tidak pernah mendapatkan perhatian serius pemerintah.

Kehadiran agama Bahai di Indonesia tidak memiliki catatan resmi. Ada yang menyebut, mereka sudah ada di awal abad 19 M di wilayah Sulawesi. Ada pula yang menyebutkan di awal abad 20.

Namun, kehadirannya di Indonesia mulai mendapatkan perhatian, ketika Soekarno mengeluarkan Keppres No. 264/1962.

Isinya, melarang Bahai aktif di Indonesia, karena dianggap tidak sesuai kepribadian Indonesia, menghambat revolusi, dan bertentangan dengan cita-cita sosalisme Indonesia.

Kepres ini kemudian dicabut oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan diganti dengan Keppres No. 69/2000. Ini berarti, Gus Dur memberi hak rekognisi kepada penganut Bahai. Bahkan, Gus Dur pernah hadir di acara Bahai di Jalan Menteng dan mengucapkan Nawruz (salam khas Bahai) (Republika.co.id, 12 Agustus 2014).

Tidak banyak yang tahu kalau pengikut Bahai acap kali mendapatkan tekanan. Masyarakat biasanya gagap. Sebagian masyarakat Indonesia menganggap Bahai adalah bagian dari Islam.

Cap sesat pun diatributkan kepada mereka. Ini tidak terlepas dari sejarah Bahai yang memang sangat dekat dengan Islam di Persia. Bahai tumbuh dalam masyarakat Islam Persia.

Saya tidak ingin membahas sejarah panjang Bahai di sini. Sejarah tentang kehadiran Bahai di dunia dan di tanah air mudah ditemukan dalam laman media online.

Yang jelas, para penganut Bahai menyatakan, bahwa mereka bukan pecahan dari agama tertentu. Mereka adalah agama tersendiri. Memiliki sistem kepercayaan sendiri dan sejarah sendiri, yang terlepas dan berbeda dengan sejarah agama-agama dunia.

Sikap Gus Men

Saya ingin kembali ke sikap Gus Men. Salahkah? Justru Gus Men sedang on-the track. Sudah lama, kementerian agama (kemenag) sangat identik dengan Islam.

Struktur kelembagaan dalam kemenag mayoritasnya berurusan dengan masyarakat Islam. Kepentingan umat Islam bahkan dilayani oleh kemenag hingga tingkat kecamatan. Gus Men bahkan ingin menambah satu struktur setingkat eselon 1 yang membidangi pesantren.

Berarti, struktur kemenag benar-benar didominasi kepentingan umat Islam. Ini wajar. Umat mayoritas memang layak mendapatkan prioritas.

Sejauh ini, negara telah mengakomodir kepentingan lima agama di luar Islam dalam struktur birokrasi kementerian agama. Ini sebagai bentuk komitmen negara terhadap agama-agama, yang secara historis dan kultural, dianut oleh penduduk Indonesia.

Hak mereka untuk mendapatkan pelayanan keagamaan sudah dilakukan. Hak rekognisi, representasi, dan redistribusi sudah dilakukan. Terlepas dengan masih adanya kelemahan di sana-sini. 

Nah, bagaimana dengan agama, selain enam agama ini? Ini persoalannya. Agama-agama lain di Indonesia tumbuh tak bertuan. Mereka rentan dengan diskriminasi dan stigmatisasi, karena tidak memiliki perlindungan hukum. Bahkan, definisi agama (sah) tidak (boleh) dilekatkan kepada mereka.

Saya ingat, ketika kulwit Menag Lukman Hakim Saifuddin pada 2014 menyatakan, Bahai adalah salah satu agama. MUI merespons dengan keras.

Persoalan keagamaan di Indonesia bertumpu pada problem mayoritarinisme. Tidak hanya dalam Islam, sistem berpikir serupa juga terjadi dalam masyarakat Kristen. Sekte Saksi Yehova dimana-mana ditolak oleh gereja mainstream, karena persoalan dasar teologis yang berbeda.

Saksi Yehova dianggap bukan Kristen. Upaya Gus Dur yang memulihkan eksistensi Saksi Yehova,  pada dasarnya, disambut dingin oleh kelompok Kristen mainstream di Indonesia.

Rekognisi Bahai yang diributkan oleh umat Islam di Indonesia menunjukkan nalar mayoritarianisme bekerja dengan kuat.

Sebenarnya, tidak ada alasan bagi agama manapun menyesatkan Bahai. Bahai bukan bagian dari agama manapun. Bahai adalah agama independen. Posisinya tidak sama dengan Ahmadiyah dalam masyarakat Islam, atau Saksi Yehova dalam masyarakat Kristen.

Menariknya, konstitusi kita bersifat terbuka dan akomodatif. Semua agama dan kepercayaan berhak untuk hidup. Berhak pula mendapatkan pelayanan dari negara.

Persoalan muncul disebabkan nomenklatur konstitusi yang menyebut hanya enam agama yang mendapatkan pelayanan negara. Itu diterjemahkan dalam struktur birokrasi kementerian agama. 

Inilah argumen yang digunakan sebagian kelompok terhadap Gus Men. “Sejak kapan negara mengakui Bahai?” Kira-kira, itu pertanyaan yang dimunculkan setelah mengetahui kalau Bahai adalah agama sendiri.

Pengakuan ini sendiri tidak ditemukan secara eksplisit dalam UUD. Tidak ada penjelasan yang mengikat definisi agama dalam UUD.

Pasal 29 dan 30 UUD 1945 secara jelas menyatakan, seluruh agama dan kepercayaan dilindungi hak dan kebebasan menggunakan platform keagamaanya. Mereka bebas beribadah sesuai keyakinan masing-masing.

UU PNPS 1965

Satu-satunya regulasi yang menyebut nama agama di Indonesia secara eksplisit, adalah UU PNPS tahun 1965.

Di bagian penjelasan pasal 1 disebutkan, bahwa “agama yang dipeluk penduduk di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khong Cu (Confusius).”

Di bagian lanjutan penjelasan disebutkan, “ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zaratusrian, Shinto, Taoisme dilarang di Indonesia. Mereka mendapatkan jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau perundang-undangan lainnya.”

Konstitusi kita memang menyebutkan, bahwa agama yang dianut oleh umat beragama di Indonesia adalah enam agama. Tetapi, konstitusi kita tidak menegasikan eksistensi kelompok super minoritas seperti Bahai ini. Mereka boleh hidup dan berkembang di Indonesia.

Yang dibutuhkan oleh agama-agama superminoritas seperti Bahai adalah kebebasan untuk beragama.

Bahai, sebagaimana agama lain, memiliki hak hidup sebagai penganut agama yang mereka inginkan. Undang-undang memberi jaminan. Mereka tidak membutuhkan perwakilan dalam birokrasi negara.

Jumlah mereka yang terlampau kecil, memang tidak memungkinkan. Namun, yang mereka butuhkan adalah sikap persahabatan dan politik akomodatif dari negara.

Ucapan selamat dari Gus Men adalah bagian dari sikap persahabatan itu. Akomodasi politis dari negara yang sangat berharga.

Pengakuan ini bisa memulihkan pandangan sebagian publik tentang keberadaan mereka. Setidaknya, mereka diposisikan sebagai penganut agama yang independen. Bukan sekte dari agama tertentu.

Gus Men sedang menunjukkan, bahwa ia adalah menteri semua agama. Bukan menteri enam agama saja, tetapi seluruh agama di Indonesia. Tidak mudah memang. Tantangan dari orang-orang yang tidak memahami konteks kebangsaan pasti ada.

Protes orang-orang yang terjebak dalam nalar mayoritarianisme pasti eksis. Nyinyiran dari orang yang tidak pernah membaca konstitusi, tetapi sok tahu, pasti muncul.

Gus Men sedang menunjukkan keberaniannya. Bukan tanpa risiko, tetapi Gus Men tentu sudah menghitungnya secara cermat.

Ucapan selamat itu bukanlah “pembenaran” dari ajaran Bahai secara teologis. Itu bukan kewenangan menteri agama.

Kewenangan menteri agama adalah memastikan, bahwa seluruh umat beragama bisa menjalankan ajaran agama masing-masing. Dan, itu ia mulai dengan ucapan sederhana itu! (*)

Well done, Gus! 

Penulis :

Editor :

Sumber :


Berita Terkait

ARSIP