Oleh: Sabara Nuruddin (Peneliti Balai Litbang Agama Makassar)
Populisme
Pada tulisan-tulisan sebelumnya, yang saya tuangkan di Website Balai Litbang Agama Makassar (BLAM) ini, saya menyebut, populisme adalah ancaman bagi kelangsungan demokrasi yang sehat dan bahaya bagi harmoni masyarakat multikultur.
Karakternya yang monokultur, monolitik, dan monotafsir, membuat populisme tak ramah pada kenyataan sosial yang multikultur, di mana keragaman identitas dan cara pandang berdialektika dalam sebuah kontestasi demokrasi yang sehat.
Populisme masuk dengan memanfaatkan “celah” yang ada pada ruang demokrasi, yaitu “kebebasan” berpendapat dan berekspresi.
Tentu, kebebasan tanpa syarat bukanlah cita ideal dalam demokrasi, karena demokrasi sejatinya menekankan pada konsensus bersama sebagai norma yang mengatur dan mengakomodir kepelbagaian identitas berbasis kesetaraan dan keadilan.
Postulat mengenai empat konsensus dasar berbangsa, yakni NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika menegaskan, pilihan bangsa Indonesia pada demokrasi Pancasila yang mengakui persatuan dan kesatuan atas kebhinekaan (kepelbagaian).
Di sinilah populisme, baik yang berhaluan kanan maupun kiri menjadi bahaya laten rentan menggoyang Pancasila sebagai “kalimatun sawa” atau common platform bangsa Indonesia.
Menteri Agama, Yaqut Cholil Quomas (Gus Yaqut), melalui pernyataannya yang siap “memerangi” populisme, yang secara spesifik dia sebut populisme Islam, merupakan penegasan akan komitmen kementerian agama menjaga empat konsensus dasar sebagai postulat berbangsa tersebut.
Apakah pernyataan Gus Yaqut selaku menag tersebut adalah bentuk kepanikan pemerintah dan atau pertanda rezim yang mulai otoriter? Jawabannya, tergantung sudut pandang dalam menilainya.
Jika kita melihatnya dari perspektif empat konsensus dasar sebagai titik-tolak dalam menilai. Maka, pernyataan Gus Yaqut tersebut merupakan bentuk ketegasan dan penegasan pemerintah, yang salah satu amanah utamanya adalah menjaga integritas bangsa dengan berbasis empat konsensus dasar berbangsa.
Siapa pun, kelompok manapun, atau ideologi apapun, jika menunjukkan gelagat makar terhadap empat konensus dasar tersebut, negara punya kewenangan untuk ”memeranginya”.
Banyak yang mengeritik, bahwa Gus Yaqut terlalu berlebihan dengan pernyataannya tersebut. Ada pula yang menyebut menag salah paham soal populisme Islam, dan menyamakannya dengan radikalisme.
Sejatinya, populisme dan radikalisme adalah “setali tiga uang.” Populisme adalah manifestasi radikalisme sebagai sebuah gerakan politik. Populisme menegaskan superioritas identitas tertentu untuk kemudian meraih kekuasaan yang ditempuh dengan cara-cara propagandis dan kekerasan, baik yang bersifat simbolik maupun fisik.
Pernyataan Gus Yaqut yang akan “memerangi” populisme Islam tentu harus dibaca dalam konteks atribusi dia selaku menteri agama. Pernyataan perang dari seorang menteri agama, tentu berbeda dengan pernyataan perang dari seorang menteri pertahanan atau Panglima TNI.
Konteks “memerangi” dalam hal ini adalah sebagai cultural and structural war dengan mengarusutamakan kultur keberagamaan yang moderat demi memerangi arus baru kultur keberagamaan radikal, yang merupakan karakter keberagamaan dari kelompok populisme Islam.
Moderasi Beragama
Sejak 2019, tepatnya di akhir era kepemimpinan Lukman Hakim Saifuddin selaku menteri agama, Moderasi Beragama kemudian “dilaunching” sebagai agenda utama dari Program Nasional Kemenag.
Dimulai dengan dideklarasikannya Risalah Jakarta oleh 50 tokoh agama pada 29 Desember 2018 , yang berisi tiga tema pokok, yaitu Konservatisme, Relasi Agama dan Negara, serta Beragama di Era Disrupsi. Rumusan Risalah Jakarta tersebut kemudian menjadi langkah awal bagi Kemenag dalam agenda pengarusutamaan (mainstreaming) moderasi beragama.
Sebagai bentuk keseriusan kemenag dalam mengarusutamakan Moderasi Beragama, maka disusunlah Buku Putih Moderasi Beragama, yang peluncurannya pada 18 Oktober 2019. Buku tersebut merefleksikan konsepsi Moderasi Beragama dalam perspektif kemenag.
Moderasi Beragama yang dimaksud ialah “jalan tengah” (the middle path) dalam beragama, yang diartikan sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku dengan selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam pemahaman dan praktik beragama.
Prinsip keseimbangan, kesederhanaan, kesantunan, dan persaudaraan, diungkapkan melalui ekspresi keagamaan yang santun, dan agama yang menekankan persaudaraan, serta komitmen pada konsensus kebangsaan.
Moderasi Beragama dicirikan dengan empat indikator sebagai sikap keberagamaan seseorang yang moderat, yaitu toleransi, anti kekerasan, komitmen kebangsaan, serta akomodatif terhadap kebudayaan lokal.
Jika kita cermati keempat indikator tersebut bertolak-belakang dengan indikator dari sikap keberagamaan radikal dan gerakan politik yang populis.
Intoleran, pro pada tindakan kekerasan, menggoyang komitmen kebangsaan, serta bersikap destruktif terhadap kebudayaan lokal, merupakan sikap yang terlihat pada kelompok radikal-populis tersebut. Atau, paling tidak, radikalis-populis menunjukkan gelagat kepada empat hal tersebut.
Dengan demikian, pengarusutamaan Moderasi Beragama merupakan strategi yang cukup ampuh untuk “memerangi” populisme.
Mengarusutamakan Moderasi Beragama, berarti menangkal pengaruh keberagamaan yang radikal, serta propaganda politik kelompok populis.
Program Prioritas
Sejak awal dicanangkan, pengarusutamaan Moderasi Beragama dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan melalui tiga strategi, yaitu 1) sosialisasi dan diseminiasi gagasan moderasi beragama; 2) pelembagaan moderasi beragama ke dalam program dan kebijakan yang mengikat; serta 3) pengintegrasian perspektif Moderasi Beragama ke dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024.
Poin terakhir menjadi catatan penting, sebagai keseriusan kemenag yang dituntut untuk mengambil langkah-langkah konkret dalam memimpin gerakan penguatan keberagamaan yang moderat sebagai arus utama.
Misi ini dimaksudkan guna mengembalikan agama pada peran vitalnya selaku panduan spiritualitas serta moralitas. Tak hanya pada aspek ritual-formal belaka, termasuk menghindarkan agama tampil eksklusif, baik pada ranah masyarakat maupun negara.
Strategi mengintegrasikan moderasi beragama ke dalam RPJMN 2020-2024 membuat kemenag memiliki landasan politik maupun hukum untuk mengerahkan segenap sumber dayanya dalam menginternalisasi dan menyebarkan nilainilai keberagamaan yang moderat.
Hal ini juga menjadi counter kultural dengan pendekatan dan strategi struktural terhadap keberagamaan radikal, yang rentan dimanfaatkan dan digiring pada satu narasi politik populis atas nama agama.
Pada RPJMN 2020-2024, pengarusutamaan Moderasi Beragama masuk dalam salah satu arah kebijakan dalam mewujudkan Prioritas Pembangunan Nasional poin keempat, yaitu Revolusi Mental dan Pembangunan Kebudayaan.
Masih lemahnya pemahaman dan pengamalan nilai agama yang moderat, substantif, inklusif, dan toleran untuk memperkuat kerukunan umat beragama, merupakan satu dari enam isu strategis yang menadi kerangka pikir program Revolusi Mental dan Pembangunan Kebudayaan.
Tentu saja, sesuai tugas dan fungsinya, kemenag menjadi leading sector dalam merespons isu strategis di bidang keagamaan tersebut.
Pengarusutamaan Moderasi Beragama dalam Program Prioritas Nasional, Revolusi Mental dan Pembangunan Kebudayaan, diterjemahkan melalui kebijakan memperkuat Moderasi Beragama sebagai fondasi cara pandang, sikap, dan praktik beragama jalan tengah untuk meneguhkan toleransi, kerukunan, dan harmoni sosial.
Karena pengarusutamaan Moderasi Beragama telah masuk dalam program prioritas, kemenag secara struktural berkewajiban untuk menyelenggarakannya secara sistematis, sebagai wujud kontribusi dalam pembangunan karakter manusia Indonesia.
Pada konteks inilah, pernyataan Gus Yaqut yang akan “memerangi” populisme Islam terlihat relevansi dan signifikansinya.
Sejatinya, Gus Yaqut hanya melanjutkan dan menegaskan kembali apa yang semestinya menjadi tugas kemenag, sebagaimana tertuang dalam RPJMN dan Rencana Strategis Kementerian Agama 2020-2024.
Hal yang harus digarisbawahi, bahwa komitmen bernegara dengan empat konsensus dasar sebagai postulatnya merupakan landasan sekaligus tujuan dari moderasi beragama.
Sebagaimana hasil yang diharapkan dari pengarusutamaan Moderasi Beragama adalah penguatan karakter manusia Indonesia serta penguatan keutuhan bangsa dan negara Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika.
Strategi Program
Sebagai program prioritas, pengarusutamaan Moderasi Beragama tentu harus diterjemahkan ke dalam “strategi perang” yang tepat dan jitu dalam menangkal pengaruh radikalisme dan gelombang populisme.
Seluruh sumber daya yang dimiliki dan stake holder terkait harus dimanfaatkan secara maksimal guna menuntaskan “strategi perang” tersebut.
Secara kuantitas, kemenag memiliki sumber daya yang sangat banyak dengan stake holder yang menyentuh langsung lapisan masyarakat di bawah.
Pengajar (guru dan dosen), penyuluh, dan penghulu, merupakan “ujung tombak” kemenag yang bersentuhan langsung dengan masyarakat dari berbagai segmen, lapisan, maupun kelas.
Demikian pula, organisasi keagamaan dan tokoh agama berhaluan moderat, merupakan mitra strategis kemenag dalam upaya mewujudkan pengarusutamaan Moderasi Beragama sebagai Program Prioritas Nasional.
Hal yang harus diperhatikan secara internal oleh kemenag, adalah meningkatkan “amunisi” dan kapasitas dari aparat kemenag sendiri. Khususnya tenaga pengajar, penyuluh, penghulu selaku “prajurit garda depan” dari kemenag dalam “memerangi” radikalisme dan populisme.
Dengan demikian, penguatan kapasitas internal menjadi strategi awal bagi kemenag yang telah kadung “menabuh genderang perang” terhadap populisme agama (Islam). Jangan sampai justru aparat kemenag sendiri yang ternyata gagal paham, atau salah paham mengenai apa yang dimaksud Moderasi Beragama dan pengarusutamaannya..
Program selanjutnya, adalah maksimalisasi peran sumber daya dan stake holder berupa penguatan sistem pendidikan agama dan keagamaan yang berperspektif moderat, penguatan kepenyuluhan agama bermuatan mdoerat, serta penguatan peran kepenghuluan dalam rangka pembentukan keluarga sakinah sebagai unit terkecil implementasi Moderasi Beragama.
Kemitraan dengan organisasi atau lembaga keagamaan, serta dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat, diarahkan pada penguatan relasi agama dan budaya, pengembangan muatan penyiaran agama berperspektif dan bermuatan moderat, hingga pengelolaan rumah ibadat sebagai pusat syiar agama yang moderat.
Output yang harus dicapai sebagai indikator keberhasilan pengarusutamaan Moderasi Beragama, adalah perlindungan umat beragama sebagai jaminan hak-hak sipil dalam kebebasan beragama dan menjalankan ibadat sesuai agamanya dengan jaminan UUD 1945. Hal ini berdampak pada terminimalisirnya permusuhan dan aksi-aksi kekerasan atas nama agama baik intra maupun antaragama.
Output selanjutnya, adalah optimalnya peran keluarga sakinah sebagai unit terkecil yang menopang toleransi, terwujudnya generasi muda yang moderat dalam beragama sebagai keluaran dari pendidikan agama dan keagamaan.
Sinergitas agama dan kebudayaan dapat terlihat dengan semakin berkembangnya khazanah budaya bernapas agama, serta pengembangan kehidupan keagamaan melalui saluran kebudayaan. Misalnya, optimalnya kearifan lokal sebagai perangkat kultural dalam menjaga dan menguatkan kerukunan umat beragama.
Gus Yaqut telah “menabuh gendering perang”. Selanjutnya, bagaimana seluruh jajaran aparatur kemenag menerjemahkannya dalam rumusan kebijakan dan langkah program dalam kurun 2020-2024. Sehingga, pada 2024, populisme agama tidak lagi menjadi “hantu” yang mengancam integritas bangsa. (*)
Penulis :
Editor :
Sumber :