Top
    blamakassar@kemenag.go.id
(0411) 452952

Membaca Pernyataan Menteri Agama: Perspektif Hak Sipil & Moderasi Beragama

Minggu, 27 Desember 2020
Kategori: Artikel Ilmiah
185 kali dibaca

Oleh: Sabara Nuruddin (Peneliti Balai Litbang Agama Makassar)

Pernyataan Menteri Agama:

“Saya selaku Menteri Agama, sebagai wakil pemerintah saya akan mendudukkan persoalan ini pada tempat yang semestinya, pada prinisp-prinsip dasar yang kita semua sebagai warga negara ini pegang dan akui. Pertama, semua warga negara itu berkedudukan yang sama di depan hukum, dia mau Syiah, mau Ahmadiyah, mau NU, mau Muhamamdiyah, mau siapa pun di depan hukum itu sama. Oleh karena itu, negara wajib melindungi mereka anggota-anggota organisasi ini sebagai warga negara. Artinya apa jika berbeda keyakinan tidak boleh ada alasan, kelompok yang merasa paling besar kemudian mempersekusi, menghakimi sendiri kelompok yang kecil. Ini sikap dasar yang akan pemerintah pegang.

Kedua, jika ada perbedaan pandangan, jika ada perbedaan keyakinan, jika ada perbedaan pendapat terkait dengan hal-hal keagamaan, kita selesiaikan dengan dialog. Kementerian Agama, saya sebagai Menteri Agama, siap untuk memberikan fasilitas mereka untuk berdialog. Itu sikap dasar. Kemudian saya sampaikan dan Insya Allah forum ini akan menjadi saksi, dan sekaligus mengawal, bahwa saya  akan pegang dua hal ini selama saya diberikan amanah sebagai Menteri Agama.

Demikian pernyataan Yaqut Cholil Quomas, yang akrab disapa Gus Yaqut, selaku Menteri Agama (Menag), empat hari setelah dilantik, tepatnya pada 27 Desember 2020. Pernyataan tersebut ia sampaikan pada dialog silaturahmi lintas agama di Polda Metro Jaya.

Pernyataan Menag tersebut sekaligus untuk mengklarifikasi berita yang sebelumnya beredar, bahwa Menag akan mengafirmasi ibadah Syiah dan Ahmadiyah di Indonesia.

Egalitarianisme dan dialog menjadi dua kata kunci, sekaligus prinsip yang dipegang dan akan dijalankan Gus Yaqut selama diamanahkan sebagai Menteri Agama.

Sebagaimana diketahui, Gus Yaqut dilantik sebagai Menag menggantikan Fachrul Razi, Selasa, 23 Desember 2020. Jika tidak ada aral melintang, ia akan menakhodai Kementerian “Ikhlas Beramal” ini hingga Oktober 2024.

Pernyataan Menag tersebut, pada intinya, menegaskan komitmen pada dua prinsip dasar, yaitu semua warga negara sama di depan hukum, yang meniscayakan tidak boleh adanya persekusi terhadap kelompok minoritas.

Juga, prinsip dialog sebagai pendekatan untuk menjembatani perbedaan-perbedaan yang ada. Sehingga, satu sama lain dapat saling memahami dan mengerti batasan-batasan masing-masing guna tercipta kerukunan baik antar maupun intraagama.

Hak Sipil

Warga penganut Syiah dan Ahmadiyah, adalah contoh kelompok minoritas yang tidak mendapatkan haknya dalam beragama dan menjalankan keyakinan agamanya, sebagaimana yang telah dijamin dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

Pada Pasal 28E ayat (2) dinyatakan, bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) juga diakui, bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia.

Bukan hanya Syiah atau Ahmadiyah yang mengalami pembatasan bahkan pelarangan atas hak dasar mereka. Sejumlah kelompok keagamaan minoritas lainnya, terutama dari kelompok agama lokal, juga mendapatkan perlakuan sama.

Pasal 22 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM juga menegaskan hal tersebut.

“(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; dan (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Demikian pula mengenai hak kebebasan beragama yang dijamin oleh Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan telah diratifikasi menjadi UU Nomor 12 tahun 2005. Dalam Pasal 18 UU tersebut dinyatakan, bahwa:

(1) Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.

(2) Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

(3) Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain.

Dengan demikian, jelas dan tegas bahwa, kebebasan beragama dan menjalankan keyakinan setiap warga negara merupakan hak sipil yang mendapat jaminan dari negara melalui undang-undang.

Semua warga negara punya hak sama untuk menganut sebuah keyakinan dan mengekspresikan keyakinannya itu, serta berhak mendapatkan jaminan perlindungan dari negara akan pemenuhan haknya tersebut.

Sebagai bukan negara agama, pemerintah tidak memiliki kewenangan untuk melarang satu bentuk keyakinan tertentu. Selama keyakinan tersebut tidak mengajarkan kekerasan yang mengganggu ketertiban umum, serta tidak menyerukan propaganda subervsif pada ideologi negara dan pemerintah.

Karena itu, menjadi tanggung jawab negara memfasilitasi perlindungan kepada semua kelompok keyakinan berdasarkan prinsip egalitarianisme sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.

Selain itu, negara harus hadir ketika ada warganya mengalami proses delegitimasi sosial politik hanya karena keyakinannya. Negara pun hadir sebagai fasilitator dan mediator jika terjadi perbedaan pandangan maupun keyakinan antara kelompok, baik intra maupun antaragama.

Dengan demikian, pernyataan Gus Yaqut secara normatif maupun substantif menegaskan komitmen tersebut, dan sekaligus memperjelas arah kementerian yang dipimpinnya selama sisa waktu tiga tahun periode Kabinet Indonesia Maju.

Moderasi Beragama

Pernyataan Gus Yaqut tentang prinsip egalitarianisme dan dialog sejalan dengan pengarusutamaan Moderasi Beragama yang telah menjadi agenda utama Kemenag sejak 2019.

Adil dan berimbang sebagai prinsip Moderasi Beragama, sebagaimana disebutkan dalam buku Moderasi Beragama (Kemenag, 2019:19), menggambarkan cara pandang, sikap, dan komitmen dalam beragama untuk selalu berpihak pada keadilan, kemanusiaan, dan persamaan.

Tiga dari empat indikator Moderasi Beragama, yaitu; komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, mempertegas keharusan negara untuk menjamin egalitarianisme hak semua warga negara serta hadir sebagai fasilitator untuk menjembatani perbedaan yang ada.

Komitmen kebangsaan berarti pandangan, sikap,dan praktik beragama yang bersinergi dengan komitmen dan loyalitas pada empat konsensus dasar (NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika). Afirmasi pada prinsip egalitarianisme dan dialog merupakan bentuk komitmen dan loyalitas kepada keempat konsensus dasar bangsa tersebut.

Sebagai indikator moderasi, toleransi dimaknai sebagai sikap memberi ruang dan tidak mengganggu hak orang lain untuk berkeyakinan dan mengekspresikan keyakinannya, meskipun hal tersebut berbeda dengan apa yang kita yakini.

Toleransi yang dimaksud mencakup relasi antar danintra agama. Toleransi antaragama mencakup kesediaan, dialog, interaksi, dan kerjasama.

Sedangkan toleransi intraagama dapat digunakan untuk menyikapi sekte-sekte yang menyimpang dari arus besar agama tersebut.

Bagi Moderasi Beragama, nilai-nilai kemanusiaan adalah salah satu nilai esensial agama yang harus ditegakkan.

Dengan demikian, Moderasi Beragama tidak memberi ruang untuk membenarkan tindakan kekerasan apa pun atas nama agama yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan.

Demikian pula, Moderasi Beragama tidak membenarkan perilaku diskriminatif terhadap suatu keompok keagamaan tertentu

Tindakan diskriminatif, kekerasan, dan persekusi terhadap kelompok minoritas agama, termasuk yang kerap dialami Syiah dan Ahmadiyah, pada dasarnya bertentangan dengan Moderasi Beragama yang anti kekerasan.

Sehingga, komitmen Menag untuk menjamin tidak boleh ada persekusi dari kelompok besar terahdap kelompok kecil dan dialog sebagai pendekatan sejalan dengan indikator moderasi beragama

Akhirnya, pilihan politik afirmasi pada prinsip egalitarianisme dan dialog yang akan dilakukan Menag sepenuhnya harus didukung oleh segenap pihak atas nama prinsip keadilan dalam pemenuhan hak sipil semua warga negara tanpa terkecuali, serta prinsip keseimbangan dalam Moderasi Beragama.

Bravo, Pak Menag! Indonesia menanti gebrakanmu. (*)

Penulis :

Editor :

Sumber :


Berita Terkait

ARSIP