Top
    blamakassar@kemenag.go.id
(0411) 452952

Memahami Bencana Covid-19

Sabtu, 24 Juli 2021
Kategori: Pojok KA BLAM
305 kali dibaca

Oleh: Saprillah (Kepala Balai Litbang Agama Makassar)

Mengapa kita masih saja gaduh? Bukankah seharusnya kita lebih siap? Virus ini sudah hampir dua tahun bercokol di negara kita, tetapi kita masih saja terlihat ‘bodoh’ di depannya? Bahkan, kita masih setia mengulang-ulang perdebatan, dengan argumen yang sama.

Contoh paling anyar, keputusan pemerintah meniadakan Salat Iduladha 2021 di lapangan dan beberapa kota memantik perdebatan yang sudah dilakukan pada Idulfitri 2020.

Mengapa kita tidak bisa satu pikiran, bahwa kemanusiaan kita, baik secara fisik maupun non-fisik sedang terancam oleh virus imut ini?

Ribuan orang meninggal setiap hari pada serangan gelombang kedua ini. Bukankah ini cukup sebagai penanda?

Sepertinya, virus ini datang di saat tidak tepat. Dunia kita sedang bergerak menuju masyarakat terbuka secara total.

Revolusi media digital membuka jalan kepada setiap individu di muka bumi untuk menjadi aktor informasi atau subyek yang merdeka.

Nah, virus ini datang melalui jejaring informasi yang salah. Konon, di Wuhan, orang berjatuhan gegara terpapar virus.

Inilah asal muasal rasa ‘ngeri’ tercipta di kepala kita. Virus informasi lebih cepat menjalari jiwa kita, ketimbang kedatangan virus itu sendiri.

Virus menyebar dan wajah dunia berubah. Masker menghiasi wajah manusia global. Tradisi cuci tangan mulai mendunia. Jarak sosial diberlakukan. Pembatasan gerak manusia diberlakukan. Berharap virus ini segera bisa teratasi.

Tetapi, virus ini rupanya benar-benar bandel. Ia bermutasi dan membentuk varian baru. Ancamannya lebih dahsyat. Dan, kita kembali berdebat.

Kepentingan dan Rasionalitas yang Bertabrakan

Saya melihat ada dua konteks yang membuat Covid-19 ini gaduh.

Pertama, kepentingan.

Kepentingan yang saya maksud di sini sangat Marxian, yaitu ekonomi. Untung dan rugi. Sepanjang pandemik, narasi ekonomi dimainkan dengan ciamik. Ada banyak cerita buntung. Korporasi kolaps. Maskapai penerbangan megap-megap. Pemecatan di mana-mana. Video tentang orang miskin yang semakin krisis mudah viral di media sosial. 

Orang-orang yang ‘mata pencahariannya’ hancur, mencari sasaran tembak. Pemerintah adalah sasaran paling empuk.

Kebijakan-kebijakan pemerintah dianggap tidak memihak kepada mereka. Pembatasan manusia dinilai tidak fair.

Para pedagang menjerit. Orang miskin menjerit. Kanal media sosial menyediakan tempat yang luas untuk menumpahkan segala jenis keluhan.

Kedua, rasionalitas.

Situasi faktual kita berbeda-berbeda dan membentuk rasionalitas yang berbeda pula. Di satu sisi, ada orang yang memiliki pengalaman mengerikan bersentuhan dengan virus ini.

Saya sering menemukan kesaksian dari pasien sembuh Covid-19. Ceritanya benar-benar mengerikan. Minggu pertama kehilangan selera makan. Napas sesak. Malaikat maut seperti menunggu saat tepat.

Yang lebih menyedihkan, orang kehilangan satu atau dua kerabat dan teman dekat. Informasi kematian sepanjang Juni-Juli ditemukan di semua grup media sosial, setiap hari. Saya pernah mendapatkan berita kematian tiga orang bersamaan di dalam satu Grup WA.

Situasi ini,  tentu saja, penanda penting, bahwa penyakit ini benar-benar mengancam dan membahayakan. Nyata adanya.

Di sisi lain, ada orang berkeliaran setiap hari, tetapi tidak terpapar. Ada pula orang yang tinggal jauh dari ‘paparan’ virus.

Misalnya, mereka yang berada di pedesaan, pinggiran gunung, atau kampung yang tidak pernah ada korban, merasa bahwa mereka sedang baik-baik saja.

Ada kelompok dokter yang memiliki pandangan berbeda dan cenderung mengabaikan, seperti dokter Louis.

Ada pula dari kelompok besar ini meyakini, bahwa virus ini adalah bagian dari konspirasi. Meski kelompok ini sendiri tidak sanggup membuktikannya.

Ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan vaksinasi, lock down, pembatasan, hingga penutupan rumah ibadat, dua kelompok inilah yang beradu argumen. Dua-duanya menggunakan pengalaman nyata-nya.

Perdebatan dan socia disobedience semakin kuat, karena dua kelompok ini mendapatkan asupan dari pandangan keagamaan dan ilmu kedokteran. Dokter Louis dan dokter Tirta berdebat. Pandangan semi jabariah berhadapan dengan pandangan qadariah.

Kelompok pendukung teori konspirasi masih bekerja dengan aktif dan menyuplai ‘gizi’ perdebatan di media sosial.

Sementara kelompok pertama, tak pernah lelah menyampaikan berita duka. Akibatnya, perdebatan menjadi semakin tak berujung. 

Ketidakmampuan negara  melakukan pemetaan dengan cepat. Regulasi yang sebenarnya sektoral, tetapi diberlakukan umum memantik reaksi. Ada yang taat. Banyak pula bandel.

Pada saat hari raya Iduladha, misalnya, beberapa masjid mengikuti anjuran pemerintah. Namun, beberapa masjid juga tetap menggelar salat Iduladha. Sekali lagi, kedua kelompok ini memiliki argumen masing-masing.

Empati

Yang kita butuhkan sekarang adalah empati. Empati berarti sebenarnya kita baik-baik saja, tetapi ada yang tidak baik-baik saja. Kita sehat melewati virus, tetapi ada yang meninggal dunia. Yang sehat berempati.

Meski ia tidak percaya virus ini ada, tetapi ia juga tidak bisa melepaskan diri dari kenyataan yang mengerikan. Situasi ambigu ini tidak membutuhkan perdebatan, melainkan solidaritas.

Berempati berarti bekerja melampaui kepentingan dan situasi rasional kita. Basisnya adalah kemanusiaan. Empati adalah basis sosial paling ekspresif. Empati adalah bersama menciptakan suasana.

Ketika ada tetangga sakit keras, kita berempati dengan mengunjuginya. Memberi sedikit bantuan. Atau, kita mengurangi volume suara dangdut dari radio kita. Kita berempati! Ada manusia lain yang sedang berduka. Kita tidak boleh melukai perasaan mereka lebih dalam.

Empati mendorong kita untuk menolong dan membantu sebisanya. Selemah-lemahnya, tidak membuat gaduh.

Saya tidak ikut Salat Iduladha di masjid dan melaksanakan di rumah saja adalah bagian dari empati. Jika di kampung Anda melakukan salat di masjid, janganlah upload di media sosial.

Menahan diri ke mall dan menahan diri untuk eksplosif di media sosial ketika harus beraktivitas, adalah bagian dari empati. Memberikan satu liter beras kepada tetangga yang kehilangan pekerjaan, juga adalah empati.

Virus ini datang. Benar dan nyata. Kita tidak butuh perdebatan siapa benar dan siapa salah.

Kita dikerjai oleh sistem besar atau tidak. Di depan kita, ada kematian. Ada kesedihan. Ada yang sedang berjuang mencari napas melalui tabung oksigen.

Jaga diri dan pelihara rasa empati. Badai ini pasti berlalu, kawan! (*)

Penulis :

Editor :

Sumber :


Berita Terkait

ARSIP