Top
    blamakassar@kemenag.go.id
(0411) 452952

Melawan Kecemasan Sosial Akut di Tengah Pandemik

Senin, 26 Juli 2021
Kategori: Pojok KA BLAM
133 kali dibaca

Oleh: Saprillah (Kepala Balai Litbang Agama Makassar)

Kecemasan akut atau anxiety disorder, adalah istilah dalam ilmu psikologis. Sebutan untuk orang mengalami kecemasan berlebihan akibat terpapar energi negatif yang terlalu banyak, dan tidak mampu dikendalikan.

Mula-mula diawali dari kecemasan kecil yang berulang. Lalu, membesar dan membentuk kecemasan berlebihan. Semua yang ada di sekitar menjadi ancaman. 

Kita mafhum. Virus corona berdampak sangat berbahaya. Banyak yang terpapar dan akhirnya meninggal dunia. Namun, dampat ikutannya tak kalah berbahaya. Social anxiety disorder. Kecemasan sosial akut.

Sejak awal diberitakan, virus ini telah mengaktifkan rasa takut kita. Massifnya perbincangan di media sosial telah membentuk suasana horor. Kebijakan pembatasan yang memang harus diambil tidak dibarengi dengan penciptaan suasana tenang.

Beberapa aparat terpancing melakukan aksi represif. Beberapa pimpinan pemerintahan tidak berhasil membangun komunikasi politik yang efektif. Mendahulukan ancaman ketimbang penjelasan. Kesadaran kolektif tidak berhasil dibentuk.

Para kritikus, baik yang professional, akademisi maupun amatiran, juga tidak pernah berhenti mengkritik ke sana kemari. Suasana di media sosial terasa chaos. Itu semua berefek kepada kejiwaan kita.

Saya mulai merasakan sedikit perubahan psikologis sejauh ini. Mulai ‘parno’ melihat kerumunan banyak orang. Mulai canggung berjabat tangan dengan orang. Baik teman, apalagi orang tak dikenal. Mulai berpikir panjang apabila ada ajakan ke warkop. Risih berdekatan orang yang batuk dan bersin-bersin. 

Jika ini tidak berhasil terkontrol, maka saya terancam oleh penyakit psikologis yang berbahaya, social anxiety disorder, di mana kehadiran orang lain adalah ancaman bagi saya.

Saya bisa saja selamat dari virus ini, karena menerapkan prokes dengan disiplin, tetapi saya tidak bisa menjamin terlepas dari paparan social anxiety disorder.

Saya tentu tidak sendiri. Trauma massif bisa saja tercipta. Tentu ini masih sangat asumtif, tetapi tanda-tandanya mulai terlihat.

Pakaian APD yang digunakan oleh tim relawan recover Makassar, justru menciptakan ketakutan di sebagian warga. Penolakan pun muncul.

Untuk keluar dari ancaman anxiety disorder, dibutuhkan beberapa hal:

Pertama, data kesembuhan pasien covid perlu diberi ruang lebih lebar. Ini angka harapan. Data kematian tentu tidak boleh diabaikan, karena nyata adanya.

Tetapi, informasi dan pengalaman orang-orang yang sembuh, perlu juga diberi ruang yang lebih massif. Setidaknya, mereka yang belum terpapar memiliki panduan, atau rujukan dari orang-orang yang selamat ini.

Di media, saya lebih mudah menjumpai iklan dan narasi kepedihan, air mata, dan elegi kematian yang dikemas dengan sangat baik.

Efek drama dan musik pengiringnya sangat menyentuh batin. Kita benar-benar larut. Tetapi, kita juga butuh iklan senyuman dari orang-orang sembuh.

Pada dua kasus ini, kita bisa belajar dan melakukan terbaik. Pada kasus kematian, kita belajar waspada dan menerapkan disiplin prokes, agar bisa terhindar.

Sementara pada kasus sembuh, kita belajar untuk berharap. Bahwa, jika pun terpapar, peluang untuk sembuh ada di angka 95-97%. 

Kedua, komunikasi politik dari pemerintah perlu membangkitkan semangat. Jumlah orang yang tidak terpapar masih sangat besar. Itu adalah modal untuk keluar dari situasi ini.

Mereka dibutuhkan untuk membuat pagar kekebalan, herd immunity. Jangan kerdilkan jiwa mereka.

Jika vaksinasi adalah jawaban, maka jangan dekati dengan cara yang memaksa, mengancam denda, dan pendekatan kekuasaan lainnya.

Kita butuh pendekatan kebudayaan. Warga harus didekati. Ormas-ormas, kelompok-kelompok sipil, dan aliansi sosial perlu dilibatkan.

Kesadaran publik tentang pentingnya vaksin yang perlu dibangkitkan. Semangat bahwa penyakit ini bisa diredam dan dijinakkan harus terus menerus digalakkan.

Ketiga, jejaring sosial masyarakat sipil perlu dikuatkan. Masyarakat sipil di Indonesia tidak pernah punya peluang sebesar ini untuk membuktikan kekuatannya. 

Sejauh yang saya amati, kelompok sipil di Indonesia tidak pernah berhasil memainkan peranan pentingnya dalam dunia politik.

Masyarakat sipil ini sewaktu-waktu berubah menjadi masyarakat politik, yang berpihak secara politis dan praktis kepada kepentingan tertentu.

Organisasi masyarakat sipil tidak pernah bisa benar-benar menjadi aspirasi publik. Ini adalah saat yang tepat bagi seluruh kelompok sipil di Indonesia untuk bekerja bersama.

Saya bayangkan, apabila seluruh kelompok berbasis masyarakat, baik kelompok keagamaan, kelompok hobbi, kelompok anak muda, dan kelompok remaja aktif terlibat mengampanyekan vaksin. Maka, herd Immunity pasti dengan mudah terbentuk.

Siapa yang bisa menggerakkan ini? Ya, negara! (*)

Penulis :

Editor :

Sumber :


Berita Terkait

ARSIP