SAMARINDA, BLAM -- Dipenghujung tahun, tepatnya 23 Desember 2020, “BLAM Corner” (BC) mengemas agenda yang berbeda dari sebelumnya berupa talk show yang disiarkan langsung Radio Suara Samarinda, 91,7 FM, Rabu, 23 Desember 2020.
Pada acara talk show tersebut, Kepala Balai Litbang Agama Makassar, Dr.H. Saprillah, M.Si, menjadi pembicara bersama Asman Asiz, Ketua Lakpesdam Nahdlatul Ulama Kalimantan Timur (Kaltim).
Talk show yang mengudara selama dua jam membincangkan tema “Moderasi Beragama di Indonesia: Hambatan dan Tantangan”, dipandu host, Bang Fahmi.
Selama dua jam, kedua narasumber secara gamblang menjelaskan tentang Moderasi Beragama tidak hanya sebatas teoritik, tetapi juga praktik yang sesungguhnya telah berjalan di masyarakat sejak lama.
Di lain sisi, para pendengar juga tampak antusias mendengar dan memberi tanggapan, yang ditandai dengan banyaknya pendengar melayangkan pertanyaan melalui sambungan telepon.
Saprillah yang diberi kesempatan pertama menjelaskan tentang apa itu Moderasi Beragama? Menurutnya, Moderasi Beragama sebenarnya hanya bungkusan baru saja. Moderasi Beragama sesungguhnya sudah berlaku dan dipraktikkan oleh masyarakat sejak dulu. Ibarat permen, di mana permen ini sebenarnya permen lama, tetapi sudah diolah oleh orang-orang tua dulu, dan diberikan bungkusan dan kemasan baru. Tetapi, sesungguhnya, isinya sama saja.
“Moderasi Beragama adalah sebuah cara berpikir dan bersikap yang tidak ekstrem kiri dan ektrem kanan. Posisinya di tengah. Ketika melihat sesuatu yang sifatnya kontekstual, maka akan lebih adil dan jika memandang sesuatu akan ke tengah,” kata Saprillah.
Di era Lukman Saifuddin menjabat Menteri Agama, kata Saprillah, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama mencoba menggagas sebuah istilah dengan melihat realitas sosial. Maka, ketemulah istilah Moderasi Beragama.
Kementerian Agama kemudian menuangkan empat indikator Moderasi Beragama. Pertama, penguatan kebangsaan. Mengapa ini penting? Karena, kata Saprillah, kita bertemu kelompok-kelompok, baik ideologi kiri maupun kelompok kanan, mencoba mendegradasi konsep kebangsaan kita dan menganggap, bahwa konsep nasionalisme itu bangkrut dan gagal untuk menjawab persoalan politik hari ini.
“Dan, karena gagal, maka harus diganti. Karena itu, Moderasi Beragama dalam konteks kemenag, kebangsaan itu perlu dikuatkan kembali sebagai titik pancang. Nasionalisme itu bukanlah sesuatu yang sekuler. Nasionalisme adalah bagian dari gagasan keislaman,” kata Saprillah, yang juga Ketua Lakpesdam Nahdlatul Ulama Sulawesi Selatan.
Kedua soal toleransi. Toleransi sebetulnya teori yang paling lemah dalam hubungan umat beragama, karena toleran itu satu langkah menuju intoleran. Toleran adalah kesediaan untuk tidak setuju dengan satu hal, tetapi untuk kebaikan bersama, kita setuju untuk kemaslahatan bersama.
Namun, jika ini tidak dikelolah dengan baik, maka kesetujuan itu bisa meledak. Dalam konteks keberagamaan, ini perlu dikembangkan sebagai kemaslahatan bersama.
Ketiga, adalah sikap anti kekerasan. Mengapa ini dimunculkan? Karena ada kelompok-kelompok yang dengan bahasa “nahi mungkar” itu menggunakan kekerasan sebagai metode untuk menjelaskan kepentingannya dan menjelaskan tujuan beragamanya.
Padahal, kata Saprillah, kekerasan itu adalah domind-nya kepolisian atau hukum. Tentu, kita akan membacanya, bahwa ada pelemahan hukum di Indonesia dan gejala civil militer muncul di tahun 2000-an.
Menurut Saprillah, di Sulsel juga pernah, misalnya, kalau ada pencurian di bakar oleh massa. Fenomena ini jika dilanjutkan sebagai metode penyelesaian masalah, maka tentu akan bermasalah dalam perjalanan bangsa ke depan.
“Sebab, orang akan mengembangkan kelompoknya, kalau Anda keras, berarti kita juga bisa keras. Jadi, masing-masing kelompok menggunakan kekerasan dan fenomena ini terjadi, misalnya, penelitian terkait politik identitas,” kata Saprillah.
Ketika semua kelompok menggunakan cara yang sama, misalnya, kekerasan, dan lalu negara diam saja, maka kelompok lain bisa juga melakukan cara-cara seperti ini. Menurutnya, hal tersebut berbahaya bagi kelanjutan negara. Oleh karena itu, kata Saprillah, masyarakat Indonesia tidak boleh menggunakan jalur kekerasan dalam konteks menyampaikan gagasan politik dan tujuan-tujuan kelompoknya.
Selanjutnya, keempat, adalah ramah terhadap budaya-budaya lokal, yang lebih menekankan kepada nilai. Ini menunjukkan, salah satu sendi utama agama di Indonesia agar dapat tumbuh dengan baik dan bisa saling berdampingan satu sama lain, disebabkan oleh pengembangan budaya lokal, yang bukan hanya dalam kostum atau fisik, tetapi juga nilainya. (sta)
Penulis :
Editor :
Sumber :