Oleh: Sabara Nuruddin (Peneliti Balai Litbang Agama Makassar)
Identitas
Identitas merupakan hal penting, karena identitas merupakan pemahaman tentang diri sendiri. Identitas dapat berasal dari berbagai aspek, seperti kebudayaan, etnis, kelas sosial, agama, maupun jenis kelamin.
Identitas memberikan gagasan tentang siapa diri seseorang atau siapa diri kolektif sekelompok orang. Pengenalan tentang diri, menurut Toety Heraty Noerhadi (2013), merupakan pengenalan yang berlangsung lewat suatu regressio ad infinitum, atau suatu kegiatan yang tak ada akhirnya.
Identitas adalah suatu proses pengidentifikasian diri dan kelompok, yang akhirnya mempolarisasi subjek menjadi “us” and “them” atau “kita” dan “mereka”.
Dengan demikian, identitas adalah sebuah proses representasi ke-diri-an, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok sosial tertentu.
Orang-orang akan sadar akan identitas ketika mereka berinteraksi dengan orang luar. Setiap Identitas, baik identitas diri, maupun identitas kelompok (termasuk etnik dan agama) akan berkembang melalui perjumpaan dan persaingan dan bukan melalui mengisolasikan atau mengasingkan diri.
Menurut McAdam (2002), dalam teorinya dynamic contention menyebutkan, setiap tindakan manusia didorong oleh identitas. Konsep tentang identitas adalah sebagai akibat adanya interaksi yang dinamis antara konteks dan sejalan dengan konstruk.
Dalam hal ini, identitas terkategori menjadi dua, yaitu identitas yang berakar dan identitas yang lepas. Identitas yang embedded (berakar), ialah identitas yang mewarnai tentang hubungan-hubungan secara luas. Contohnya, identitas keluarga atau kelompok adat di suatu desa.
Selain itu, ada juga identitas yang detached (lepas), yaitu identitas yang mewarnai hubungan-hubungan sosial yang sangat sempit. Contohnya, keanggotaan di partai politik.
Identitas ada yang bersifat situasional, temporer, dan permanen. Identitas ada pula bersifat perolehan (achieved) dan bersifat bawaan (achieved). Identitas ada yang terbentuk dari ikatan kolektif yang bersifat kognitif-emotif (seperti agama dan ideologi), serta ada yang bersifat geneologis (etnik), dan konstruksi lingkungan sosial (budaya). Identitas pun tidak bebas nilai.
Identitas merupakan konstruksi sosial yang berlangsung dalam suatu ruang dan waktu yang panjang. Akhirnya, memahami identitas bukanlah memahami tentang sebuah reference yang tunggal, tapi merujuk pada reference yang kompleks..
Afiliasi
Setiap manusia berafiliasi pada identitas yang tidak tunggal. Dalam dirinya, ia mengatribusi beragam identitas sesuai dengan konteks, peran, maupun kecenderungan-kecenderungan yang ia punya.
Namun, dari sekian banyak identitas yang diafirmasi tersebut, setiap manusia pasti memilih satu atau beberapa saja identitas yang ia perpegangi secara radikal, dan menjadikannya sebagai bagian dari konstruksi tentang identitas dirinya yang khas, unik, dan esensial.
Teori pembentukan identitas senantiasa menitikberatkan pada pelaku (subyek) dan struktur (obyek). Sehingga, terdapat dua teori sosial berkenaan pembentukan identitas etnik, yaitu teori strukturasi dan teori agen.
Teori strukturasi menitikberatkan pada peran struktur dalam pembentukan tindakan aktor. Sebaliknya, teori agen menyatakan, aktor (subyek) adalah makhluk bebas. Aktor memiliki otonomi untuk mengkonstruksi identitas yang ada dalam dirinya.
Di satu sisi, struktur sangat memberikan pengaruh pada aktor yang terlingkup di dalamnya, meski di sisi lain, setiap aktor tetap memiliki ruang otonominya untuk kemudian memberikan pemaknaan dan memainkan modus-modus identitas kolektifnya.
Meski demikian, seorang aktor tak akan pernah lepas sama sekali dari substansi struktur yang ada. Sebab, jika ia melepaskan diri, berarti ia akan mengasingkan diri dari identitas kolektifnya. Atau, dengan bahasa lain, sang aktor telah keluar dari bagian integral sebuah identitas kolektif kelompoknya.
Merujuk teori Barker (2006), identitas merupakan konsepsi yang diyakini seseorang tentang dirinya. Sementara harapan dan pandangan orang lain terhadap diri seseorang akan membentuk identitas sosial.
Meskipun terdapat dua pemisahan tersebut, sebagai pribadi yang utuh, seseorang harus memiliki seluruh aspek sosial dan kultural. Sehingga, identitas merupakan konstruksi sosial dan tidak mungkin eksis di luar representasi sosial dan kultural.
Dengan demikian, identitas bersifat personal sekaligus sosial, seseorang tidak bisa sepenuhnya keluar dari representasi sosial dan kultural struktur yang membentuknya dan mengikatnya ke dalam suatu ikatan kolektif. Dari sinilah lahir konsep tentang “aku: dan “kita” sebagai identitas yang integral.
Konstruksi
Menurut Amartya Sen (2006), suatu identitas dipilih lebih memperhatikan aspek signfikansi sosialnya. Bukan cuma nalar yang berperan dalam pilihan identitas, melainkan pertimbangan akan konteks sosial dan relevansinya.
Sedangkan Burke dan Steets (2009), menyebut, identitas tampil dalam ruang perbedaan berjalin kelindan dengan kesadaran dan pemaknaan.
Mengkaji identitas kebudayaan sekelompok manusia, berarti mengkaji keseluruhan konstruksi tentang “kedirian”, mulai dari cara berpikir, perasaan, hingga cara bertindak, baik sebagai individu maupun sebagai komunitas.
Konstruksi seseorang atas identitas meniscayakan hadirnya persepsi tentang “diri” yang berbeda dengan yang lain (self and otheri). Konstruksi akan self and other tidak hanya menyangkut individu, melainkan komunitas sebagai konstruksi identitas kolektif dari individu-individu.
Sebagaimana dikatakan Amartya Sen, keanggotaan dalam komunitas merupakan perpanjangtanganan dari individu sesorang, sehingga kesadaran kolektif disamakan dengan kesadaran individu, identitas indivdu lebur dalam identitas kolektif. Dari sinilah kemudian lahir kesadaran tentang in-group (kelompok kita) dan out-group (kelompok mereka).
Identitas sosial terbentuk dari keterlibatan, rasa peduli, dan rasa bangga individu sebagai bagian dari kelompok sosial yang dinaunginya.
Identitas sosial merupakan bagian dari konsep diri individu yang bersumber dari pengetahuan tentang keanggotannya dalam suatu kelompok sosial yang menganut nilai, norma, dan ikatan emosional tertentu yang mampu menyatukan anggota-anggotanya.
Dengan demikian, identitas sosial merupakan bagian dari konsep diri individu yang berasal dari pengetahuannya selama ia berada dalam suatu kelompok sosial tertentu dan individu tersebut dengan sengaja menginternalisasi nilai-nilai, turut berpartisipasi, serta mengembangkan rasa peduli dan kebanggan terhadap kelompoknya.
Pembahasan tentang teori identiats sosial, tidak bisa dipisahkan dari teori kategorisasi diri (self-categorization theory). Reaitas sosial merupakan tempat berkembangnya yang menjadi acuan bagi identitas kelompok yang dalam perkembangannya kemudian melahirkan batas-batas antar kelompok.
Fenomena ini kemudian akan mengarahkan individu untuk membagi dunia sosial ke dalam dua kategori yang secara tegas berbeda. Yaitu, “dunia ke-kita-an (wenes) dan “dunia yang lain” atau “dunia mereka” (othernes). Kita adalah ingroup dan mereka adalah outgroup. Selain melalui kategorisasi diri, identitas sosial juga terbentuk melalui perbandingan sosial dan proses interaksional.
Setiap masyarakat membentuk citra secara kolektif yang merupakan pengetahuan budaya yang sama bagi kelompoknya. Antara citra individu dan citra kolektif saling berbagi dalam identitas seseorang.
Identitas sebuah kelompok muncul karena hadirnya kelompok lain. Sebuah kelompok akan berusaha keras menonjolkan elemen-elemen yang jelas membedakan mereka dengan yang lain.
Dengan demikian, pengenal tentang citra diri (pribadi dan kelompok) secara bersamaan merupakan pengenalan atau pengidentifikasian tentang citra diri yang lain.
Identitas Sosial
Transformasi dari identitas personal ke identitas sosial merupakan gambaran adanya perubahan prilaku dari prlaku antar individu ke prilaku antar kelompok. Pada saat identitas sosial individu lebih kuat dari identitas personalnya, maka ia akan berperilaku dalam konteks hubungan antar kelompok.
Pada dasarnya identitas sosial merupakan persoalan kategorisasi diri yang ditandai oleh proses pengendalian lingkungan dengan cara mengelompokkan objek-objek ke dalam satuan tertentu.
Identitas sosial merupakan perluasan dari identitas personal yang meperoleh legitimasi dari beragam hal, termasuk lingkungan sosial, budaya, agama, maupun ikatan darah.
Amartya Sen (2006) melakukan pembedaan antara identitas “yang saling bersaing” dan “identitas yang tidak saling bersaing”.
Kategori pertama tampak pada kelompok-kelompok yang berlainan dalam satu kategori yang sama (kategori bisa berkenaan dengan identitas etnik,nasional, budaya, agama, maupun yang lainnya).
Sebaliknya, identitas “yang tak saling bersaing” adalah merujuk pada kelompok-kelompok yang digolongkan menurut dasar-dasar yang berbeda-beda (misalnya profesi dan kewarganegaraan).
Identitas seseorang dengan komunitasnya merupakan identitas yang utama dan dominan (bahkan mungkin satu-satunya identitas yang berarti) dari orang yang bersangkutan.
Identitas sebagai pribadi dan sebagai bagian dari komunitas adalah identitas yang saling bersinggungan meski berbeda. Pada banyak kasus, solidaritas kolektif, “memaksa” individu untuk benar-benar total melebur dalam identitas kolektif kelompoknya.
Agama
Jika agama dijadikan sebagai sebuah identitas kelompok, maka merujuk pada keberadaan komunitas-komunitas keagamaan, kelompok-kelompok yang terdiri atas individu-individu yang diikat bersama oleh kesamaan atau kemiripan simbol-simbol agama.
Dengan demikian, dalam kasus kelompok agama, simbol-simbol agama dalam berbagai modusnya menjadi penting sebagai penanda identitas kolektif suatu kelompok agama dengan kelompok agama lainnya.
Agama merupakan produk kehidupan kolektif. Kepercayaan dan ritus agama memperkuat ikatan-ikatan sosial di mana kehidupan kolektif itu bersandar.
Di sinilah agama memiliki fungsinya sebagai perekat sosial, yang menyatukan sekelompok individu dalam satu identitas kolektif yang sama yang diikat oleh perasaan primordial yang sama dan sangat mudah untuk memantik emosi kolektif yang mengharu biru dalam spirit perlawanan atau perubahan atau bahkan spirit pada konservatisme.
Agama merupakan sistem simbol yang dengannya, suatu komunitas memanifestasikan identitas kolektifnya. Simbol-simbol keagamaan digunakan untuk memobilisasi massa maka akan melahirkan sikap dan tindakan oposisi terhadap lawan dari komunitas berbeda.
Hal ini karena agama menempati posisi paling sublim dari kesadaran manusia dan ikatan kolektif yang dibentuknya “menukik” pada sisi rasa terdalam manusia. (*)
Penulis :
Editor :
Sumber :